أَفَلَمْ
يَسِيرُوا فِي اْلأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَآ أَوْ
ءَاذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لاَتَعْمَى اْلأَبْصَارُ وَلَكِن تَعْمَى
الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
maka
apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang
dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka
dapat mendengar Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang
buta, ialah hati yang di dalam dada. (QS. 22:46)
Akal
yang dihasilkan oleh qalbu manusia sebagai gabungan dari sekian daya
dalam diri manusia menyangkut kemampuan berfikir otaknya maupun kepekaan
hatinya agar tidak terjerumus ke dalam perbuatan dosa dan kesalahan. Karena
itulah ia dinamakan al-qur’an ‘aql (akal) yang secara harfiah berarti
tali yakni yang mengikat nafsu manusia dan menghalanginya terjerumus ke dalam
dosa dan berbagai macam pelanggaran.
وَقَالُوا لَوْ
كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَاكُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ . فَاعْتَرَفُوا
بِذَنبِهِمْ فَسُحْقًا لأَصْحَابِ السَّعِيرِ
Dan
mereka berkata:"Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan
itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni neraka yang menyala-nyala". Mereka
mengakui dosa mereka. Maka kebinasaanlah bagi penghuni-penghuni neraka yang
menyala-nyala".
QS. Al-Mulk:10-11)
Tuhan
memberikan kita akal dan kehendak sebagai alat untuk kembali pada tingkat
kesadaran azali kita. Akal memberikan kita kemampuan untuk membedakan yang
benar dan buruk. Adapun kehendak memberikan kita kemampuan untuk memiliki
tindakan yang benar.
Kedudukan akal
dalam al-qur’an begitu sangat tingginya, ia adalah utusan kebenaran, ia adalah
kendaraan pengetahuan, ia yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Dan tidak
dikatakan manusia apabila manusia tidak memfungsikan akalnya dengan benar.
Bahkan kedudukan akal disejajarkan dengan agama “ad-dinu huwa al-aqlu”
agama itu adalah akal.
“konon
malaikat jibril dating kepada Adam as, menyampaikan bahwa dia diperintahkan
Tuhan agar Adam memilih salah satu dari tiga pilihan yang disodorkan; akal,
rasa malu dan agama. Maka Adam as. Memilih akal. Jibrilpun menyatakan kepada
rasa malu dan agama agar kembali. Tetapi keduanya berkata, “kami diperintahkan
Allah untuk selalu bersama akal, di manapun dia berada, karena itu kami tidak
akan pergi.” Demikian riwayat yang dinisbahkan kepada Sayyidina Ali ra. Memang “tiada
agama tanpa akal, dan tiada juga agama tanpa rasa malu.”
Agama,
bersama akal yang sehat, hati yang suci dihadirkan bagi manusia untuk menuntun
rasio dan memundukan ego agar tidak tersesat dan menemukan makna kebenaran
sejati Tuhan.
Lalu
bagaimana mengasah akal agar selalu cenderung kepada kebenaran? Prinsip
dasarnya sederhana, sebagaimana sabda Nabi saw: “kerjakanlah yang halal dan
baik, jangan kerjakan yang haram dan buruk, dan jika ragu, janganlah bertindak
sampai kamu merasa yakin”.
Nabi Saw
bersabda: “ada dua jenis pengetahuan; pengetahuan lidah dan pengetahuan hati”.
Elemen penting di dalam pengetahuan hati adalah mengalami apa yang telah kita
ketahui. Pengetahuan hati diperdalam oleh pengalaman.
(Sumber : M.Quraish Shihab, Dia di Mana-Mana,
Robert Frager, Hati, Jiwa, dan Diri)
No comments:
Post a Comment