Tuesday, February 17, 2015

Peran Akal dalam Khazanah Al-Qur'an

Akal dalam terminologi al-qur’an bukan hanya daya pikir yang dihasilkan oleh sistem kerja otak dan sel saraf  yang menghasilkan pikiran-pikiran rasional, kreatif, intuitif maupun imajinatif. Alqur’an sering mengaitkan kata akal dengan qolbu (hati) sebagai kemampuan berpikir dan kesadaran moral. Ia adalah akal sehat dan kepekaan hati. Karena itu dikecamnya bagi mereka yang tidak menggunakan hati, sebagai manusia yang tidak berakal (tidak berpikir).

أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي اْلأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَآ أَوْ ءَاذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لاَتَعْمَى اْلأَبْصَارُ وَلَكِن تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. (QS. 22:46)

Akal yang dihasilkan oleh qalbu manusia sebagai gabungan dari sekian daya dalam diri manusia menyangkut kemampuan berfikir otaknya maupun kepekaan hatinya agar tidak terjerumus ke dalam perbuatan dosa dan kesalahan. Karena itulah ia dinamakan al-qur’an ‘aql (akal) yang secara harfiah berarti tali yakni yang mengikat nafsu manusia dan menghalanginya terjerumus ke dalam dosa dan berbagai macam pelanggaran.
وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَاكُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ . فَاعْتَرَفُوا بِذَنبِهِمْ فَسُحْقًا لأَصْحَابِ السَّعِيرِ
Dan mereka berkata:"Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni neraka yang menyala-nyala". Mereka mengakui dosa mereka. Maka kebinasaanlah bagi penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala". QS. Al-Mulk:10-11)

Tuhan memberikan kita akal dan kehendak sebagai alat untuk kembali pada tingkat kesadaran azali kita. Akal memberikan kita kemampuan untuk membedakan yang benar dan buruk. Adapun kehendak memberikan kita kemampuan untuk memiliki tindakan yang benar.

Kedudukan akal dalam al-qur’an begitu sangat tingginya, ia adalah utusan kebenaran, ia adalah kendaraan pengetahuan, ia yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Dan tidak dikatakan manusia apabila manusia tidak memfungsikan akalnya dengan benar. Bahkan kedudukan akal disejajarkan dengan agama “ad-dinu huwa al-aqlu” agama itu adalah akal.

“konon malaikat jibril dating kepada Adam as, menyampaikan bahwa dia diperintahkan Tuhan agar Adam memilih salah satu dari tiga pilihan yang disodorkan; akal, rasa malu dan agama. Maka Adam as. Memilih akal. Jibrilpun menyatakan kepada rasa malu dan agama agar kembali. Tetapi keduanya berkata, “kami diperintahkan Allah untuk selalu bersama akal, di manapun dia berada, karena itu kami tidak akan pergi.” Demikian riwayat yang dinisbahkan kepada Sayyidina Ali ra. Memang “tiada agama tanpa akal, dan tiada juga agama tanpa rasa malu.”

Agama, bersama akal yang sehat, hati yang suci dihadirkan bagi manusia untuk menuntun rasio dan memundukan ego agar tidak tersesat dan menemukan makna kebenaran sejati Tuhan.

Lalu bagaimana mengasah akal agar selalu cenderung kepada kebenaran? Prinsip dasarnya sederhana, sebagaimana sabda Nabi saw: “kerjakanlah yang halal dan baik, jangan kerjakan yang haram dan buruk, dan jika ragu, janganlah bertindak sampai kamu merasa yakin”.

Nabi Saw bersabda: “ada dua jenis pengetahuan; pengetahuan lidah dan pengetahuan hati”. Elemen penting di dalam pengetahuan hati adalah mengalami apa yang telah kita ketahui. Pengetahuan hati diperdalam oleh pengalaman.

(Sumber : M.Quraish Shihab, Dia di Mana-Mana, 
               Robert Frager, Hati, Jiwa, dan Diri)

No comments:

Post a Comment